BERITAMALUKU.COM, Namlea – Suara mahasiswa dan pemuda kembali menggema di Bumi Bupolo. Puluhan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Republik Indonesia (GMPRI) Kabupaten Buru menggelar aksi damai di depan Kantor Bupati Buru, Jumat (15/8/2025) kemarin.

Dalam aksi itu, mereka menuntut pemerintah daerah segera menyelesaikan carut-marut persoalan adat yang belakangan kian meruncing, khususnya terkait Petuanan Kayeli dan lahan adat.

Aksi yang dimulai sejak pukul 08.30 WIT ini diawali dengan titik kumpul di Simpang Lima Namlea. Dari sana, massa yang berjumlah sekitar 10 orang bergerak menggunakan satu unit mobil pick up lengkap dengan sound system dan spanduk unjuk rasa. Mereka kemudian melanjutkan orasi di depan kantor bupati.

Empat tokoh mahasiswa bertindak sebagai orator utama, yakni Sharul Awam, Muhcin Umasugi, Rifandi Makatita, dan Agil Asaggaf, yang secara bergantian menyampaikan aspirasi.

Dalam orasinya, mereka menegaskan bahwa Pulau Buru saat ini tengah menghadapi beberapa permasalahan adat, sebut saja dualisme kepemimpinan adat di Petuanan Kayeli, lahan adat, bahkan sampai terabaikannya lembaga adat yang telah ada sejak dari generasi terdahulu yaitu Lembaga Adat Noro Pito Noro Pa, yang tidak hanya mengancam persatuan masyarakat adat, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan iklim investasi di daerah.

“Kami hadir di sini bukan sekadar untuk berteriak, tetapi untuk menyelamatkan kehormatan leluhur. Carut-marut tatanan adat Pulau Buru harus segera dikembalikan kepada jalurnya yang sah: musyawarah adat bersama lembaga tertinggi, Noro Pito Noro Pa. Jika adat terus dipermainkan oleh kepentingan elit, maka rakyatlah yang akan dirugikan,” seru salah satu orator dalam aksinya.

Lebih jauh, massa GMPRI menuding adanya campur tangan elit politik yang sengaja menciptakan kekacauan adat demi kepentingan pribadi. Kondisi ini, menurut mereka, membuat investor ragu menanamkan modal, sehingga berimbas pada terhambatnya pendapatan asli daerah (PAD) dan hilangnya peluang ekonomi bagi masyarakat.

“Kami mendesak pemerintah daerah segera menyurati Dewan Adat Nor Pito Noro Pa, mempertemukan seluruh pemangku adat, dan menegaskan kembali sejarah Pulau Buru yang benar. Hanya dengan persatuan adat, Buru bisa aman, damai, dan berkembang,” tambah salah satu peserta aksi.

Setelah berorasi, massa diterima oleh Asisten I Pemda Buru, Asnawi Tinggapi, yang menegaskan komitmen pemerintah untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut.

“Kami menerima semua tuntutan yang disampaikan dan akan meneruskannya kepada Bapak Bupati. Pemerintah tidak bisa mengintervensi langsung urusan kepemimpinan adat, tetapi kami akan selalu menghormati hasil musyawarah mufakat Dewan Adat,” ungkap Asnawi.

Sebagai bentuk tindak lanjut, massa juga akhirnya bertemu langsung dengan Bupati Buru, Ikram Umasugi. Dalam pertemuan singkat itu, Bupati menyampaikan apresiasi sekaligus kritik.

“Saya menyesalkan aksi kecil seperti ini sampai harus berteriak di kantor. Lebih baik kalau ada aspirasi, disampaikan tertulis dan langsung ke ruang saya. Namun saya pastikan, tuntutan terkait persoalan adat ini akan kami fasilitasi dan tindaklanjuti,” kata Bupati Ikram.

Aksi damai GMPRI Buru ini menjadi penanda bahwa kegelisahan atas kekacauan tatanan adat Pulau Buru bukan sekadar wacana elit, tetapi juga suara generasi muda yang menuntut agar marwah adat dikembalikan ke tempatnya yang sejati.

Adapun hal-hal yang menjadi tuntutan GMPRI adalah mendesak Bupati Buru untuk:

1. Segera selesaikan permasalahan pemimpin adat (Raja Kaiely) yang ada saat ini secara tuntas dengan berpedoman pada sejarah adat Buru yang sebenarnya!

2. kembalikan penyelesaian persoalan ini kepada jalur yang benar yaitu kepada Lembaga Adat Noro Pito Noro Pa, lembaga tertinggi yang berhak menentukan, sebagaimana diwariskan oleh leluhur kita!

3. kembalikan permasalahan penyelesaian lahan adat Gunung Botak kepada Lembaga Adat Noro Pito Noro Pa, bukan kepada salah satu marga tertentu.(*)