BERITAMALUKU.COM, Namlea – Para masyarakat dan Pemuda Kailey, serta mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah (IMM) Cabang Buru, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Namlea, gelas unjukrasa Jilid lV terkait penolakan koperasi di kawasan tambang emas Gunung Botak. Kamis (15/5/2025).
Para pendemo mendatangi Polres Buru, mereka mendesak agar Helana yang merupakan pengurus perusahaan PT Wangsuwai Indo Maining, serta Mansur Lataka dan Ruslan Arif Suamole alias Ucok agar segerah ditangkap.
Pasalnya, aktivitas koperasi tersebut diduga belum memilik ijin pertambangan, sehingga apa yang dilakukan oleh PT Wangsuwai Indo Maining telah melanggar aturan.
Para pengunjukrasa itu menyebutkan soal aktivitas alat berat jenis excavator milik Imbran S Malla di Kali Anhoni beberapa waktu lalu, meskipun belum mengangkut atau mengola material namun bisa ditangkap.
“Kenapa Ucok, Helena dan Mansur Lataka tidak bisa ditangkap. Ingat masyarakat Indonesia di mata hukum semuanya sama, tidak boleh di bedahkan,” ujar salah satu orator.
Dijelaskan, gunung botak bukan hamparan tanah kaya mineral, ia adalah nadi spritual ruang hidup warisan leluhur yang sejak lama menjaga keseimbangan alam, tapi kini atas nama pembangunan dan koperasi alam itu digadaikan.
Ironisnya, koperasi yang mengatasnamakan rakyat justru melanjutkan jejak kolonialisme yang mengakar atas nama kemajuan, selain itu koperasi datang untuk menguasai sumber daya alam dan menyingkirkan pemilik sah atas tanah adat.
“Kita di sini melawan bukan karena benci perubahan, tapi karena mereka tahu perubahan yang tidak menghargai sejarah dan identitas hanya akan menjadi kelanjutan dari penjajahan. Ini bukan sekedar soal tambang tetapi soal keberlangsungan hidup harga diri dan hak atas tanah yang diwariskan nenek moyang,” tegasnya.
Perlawanan ini bukan untuk mengulang luka, lanjut orator, tapi untuk menghentikan warisan kolonial yang belakangan terus menjelma dan berakhir dalam rupa koperasi.
“Prinsipnya, kami tidak alergi investasi tapi investasi yang berkeadilan, investasi yang bergerak dengan semangat demokrasi ekonomi yang kami perlukan. Melalui tuntutan ini juga kami ingin menyampaikan perhatian dan kritik tajam terhadap praktek pertambangan emas di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Buru,” ungkapnya.
Dijelaskan, belakangan ini terindikasi koperasi hanya menjadi kedok bagi kepentingan perusahaan-perusahaan besar sebagaimana diketahui. Sayangnya upaya pemerintah untuk mendorong pengelolaan tambang secara kooperatif justru menyisakan banyak persoalan, karena koperasi yang dibentuk atas nama masyarakat lokal namun pada praktiknya dikuasai oleh pihak luar dengan modal besar dan jaringan kekuasaan yang kuat.
Koperasi-koperasi ini diduga hanya menjadi formalitas legalitas sementara, kendali operasional dan keuntungan utamanya jatuh ke tangan perusahaan yang menyamarkan identitas dan kepentingan mereka di balik bendera koperasi rakyat.
Akibat dari proteksi macam ini masyarakat lokal menjadi penonton atau buruh kasar di tanah mereka sendiri. Pendapatan dari tambang tidak mengalir secara adil kepada warga setempat. Sehingga konflik semakin meningkat akibat kesenjangan penguasaan sumber daya alam.
Beberapa alasan yang melatar belakangi argumen penolakan ini, kami mendesak Polres Buru untuk segera menangkap secara terbuka siapa saja pihak di balik koperasi-koperasi tersebut. Termasuk aliran modal dan struktur pengendali sebenarnya.
Meminta Polres Buru untuk menangkap Helena, Ruslan Arif Suamole alias Ucok dan pemilik alat berat Tiong, yang diduga menjadi aktor di balik masuknya koperasi dan aktivitas sebelum IPR diterbitkan.
Kemudian, kami percaya bahwa DPRD Kabupaten Buru masih memiliki kewenangan dan keberanian untuk berpihak pada rakyat bukan pada oligarki berkedok koperasi.
“Gunung botak bukan sekedar kawasan tambang tetapi ruang hidup masyarakat Buru, jangan biarkan koperasi dijadikan eksplorasi oleh segelintir orang,” pungkasnya.(*)