BERITAMALUKU.COM – Isu penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024 menjadi semakin hangat dibicarakan di semua kalangan masyarakat Indonesia, terutama akademisi dan para pengamat. Sebab penundaan Pemilu sangat kontradiksi, apabila kita melihat sedang berjalannya proses tahapan Pemilu yang telah dilakukan oleh penyelenggara yakni KPU serta pengawas Pemilu yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Tulisan ini secara sederhana ingin melihat bagaimana wacana penundaan Pemilu ini dengan menggunakan dua pendekatan. Pertama, hukum sebagai konstitusi negara. Kedua, politik dengan mainannya yang cenderung praktis-pragmatis. Kemudian, pada kesempatan ini membuat kita bertanya, ada siapa yang memainkan perannya di balik semua proses ini?
Inkonstitusi
Secara tegas lewat tulisan ini, saya ingin katakan, bahwa baik ini isu ataupun ke depan akan menjadi kepastian Pemilu ditunda adalah langkah pemerintah yang sangat mencederai konstitusi sebagai aturan paling mendasar di negara Indonesia. Menunda pemilu untuk dilaksanakan di Tahun 2024 adalah sesuatu yang inkontitusional.
Penundaan pemilu sebagaimana telah terlihat pada keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keputusan PN Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Tanggal 2 Maret 2023 yang memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) terhadap tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusannya yakni menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak keputusan tersebut diucapkan, serta melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari.
Terdapat pada Pasal 7 UUD 1945 yakni Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Serta Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yakni Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Semua pasal-pasal di atas terabaikan kalau merujuk pada putusan PN Jakarta Pusat tersebut. Ditundanya pemilu sungguh menabrak konstitusi yang menjadi landasan hukum bagi penyelenggara Pemilu. Jadi, penundaan Pemilu dalam kaca mata hukum yang normatif itu melanggar aturan-aturan hukum itu sendiri. Tetapi, penundaan pemilu tidak bisa hanya dilihat dari perspektif hukum secara normatif saja, karena ini juga bagian dari langka yang terlalu politis dari kekuasaan dan sangat tidak populis.
Para kelompok dengan segala kepentingannya bisa saja memanfaatkan hasil atau putusan pengadilan dengan tujuan mengamankan jabatan dan kesempatan.
Kepentingan
Jika melihat bagaimana langkah yang diambil agar baiknya Pemilu ini mesti ditunda, merupakan bagian dari upaya untuk melanggengkan status quo dengan mengabaikan apa yang menjadi amanat konstitusi. Padahal sudah jelas diketahui bahwa konstitusi kita yakni undang-undang (UU) merupakan produk hukum; sebuah aturan yang tidak bisa dibatalkan secara sepihak, memakai selera sendiri. Tetapi harus melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Dalam How Democrasi Die yang ditulis Daniel Ziblatt & Steven Levitsky bahwa tindakan orang-orang yang berkuasa untuk menunda pemilu ini adalah cara untuk mematikan demokrasi secara perlahan. Mereka kemudian disebut dengan “demagog”. Kaum demagog pada prinsipnya adalah para aktor yang mematikan demokrasi dengan cara-cara yang otoritarian.
Kita tahu bahwa para demagog (provokator) ekstrimis bermunculan dari waktu ke waktu di semua masyarakat, bahkan di demokrasi sehat. Segera sesudah calon pemimpin otoriter berhasil meraih kekuasaan, demokrasi menghadapi tes penting: Akankah si pemimpin autokratik membajak lembaga-lembaga demokrasi, ataukah dibatasi oleh lembaga itu? Lembaga-lembaga menjadi senjata politik, digunakan mereka yang mengendalikan untuk menghantam mereka yang tidak. Begitilulah cara autokrat terpilih membajak demokrasi-menjadikan pengadilan dan badan netral lainnya “senjata”, membeli media dan sektor swasta (atau menggencet keduanya agar diam), serta mengubah aturan politik agar kekuatan berubah merugikan lawan. Ziblatt & Levitsky (2019 : 12-13).
Para kaum demagog itu menempuh jalan dalam mematikan demokrasi melalui mekanisme secara legal, sehingga semuanya terlegitimasi secara terstruktur dan sistematis. Cara yang ditempuh kekuasaan untuk mematikan demokrasi ini diterangkan secara konprensif oleh Juan Linz agar masyarakat bisa dengan mudah melacak keberadaan pemimpin otoriter.
Linz dengan asumsinya, kita sebaiknya khawatir apabila seorang politikus 1) menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan, 2) menyangkal legitimasi lawan, 3) menoleransi atau menyerukan kekerasan, dan 4) menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media. Ziblatt & Levitsky (2019 : 10-11).
Hal ini dilakukan karena ada banyak kepentingan besar dari orang-orang atau kelompok yang ingin capai yakni kepentingan para penguasa serta para korporat yang kita kenal dengan istilah oligarki. Kepentingan penguasa adalah untuk memperpanjang masa jabatan, sedangkan kepentingan para korporat, cukong, atau oligarki itu pastinya mengeksplor kekayaan sumber daya negara. Kedua kepentingan ini sangat punya keterkaitan satu dengan yang lainnya, dan tentunya saling mendukung antar kepentingannya.
Perlu digaris bawahi bahwa benih oligarki dalam pengelolaan sumber daya alam selalu dimulai dengan pemberian izin. Kemudian akan mengakar menjadi penguasaan yang didominasi oleh segelintir orang. Karena dengan izin itulah para oligarki akan semakin luas ruang geraknya untuk mengakses segala kekayaan sumber daya yang ada.
Kenyataannya, kekayaan sangat besar ditangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik, termasuk dalam demokrasi. Oligarki adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan kosentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Sumber daya itu harus tersedia untuk digunakan demi kepentingan pribadi, biarpun tidak harus dimiliki sendiri Winters (2011 : 8).
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) menjadi indikator paling penting untuk mengukur semua kejanggalan yang terjadi saat ini dengan realita politik demokrasi Indonesia mendekati tahun pemilu. Artinya, proyek IKN jangan hanya dilihat secara leterlek, tetapi harus lebih dari itu, bahwa ada apa dibalik rencana pemindahan ibu kota negara ini. Ada peran besar oligarki di dalamnya. Persengkolan antara penguasa dan pemodal.
Mengenai IKN dari Jakarta ke Kalimantan berarti akan bergesernya pembangunan yang bersifat besar-besaran, apalagi pembangunan infrastruktur. Mengingat sistem pembangunan di Indonesia yang masih sentralistik, kalau tidak mau dibilang jawasentris. Pembangunan hanya dilakukan di kawasan perkotaan dan hanya fokus pembangunannya dari segi fisik. Kalau pembangunan bergeser atau IKN pindah, maka secara otomatis para investor yang mendanai pembangunan IKN juga ikut berpindah.
IKN sudah diputuskan untuk dipindahkan, dimana prosesnya sedang berjalan. Sehingga para kelompok ini harus memastikan bahwa IKN harus tetap dilanjutkan pada masa periodisasi berikutnya. Pemilu menjadi pintu masuknya, agar muncul penguasa yang punya misi yang sama atau yang terpilih di pemilu adalah orang-orang masih berada dalam satu lingkaran (circle) yang sama. Kalaupun formatnya tidak bisa berjalan, maka konsekuensinya yaitu isu penundaan pemilu harus diwujud nyatakan.
Hal-hal yang lain sebagai kepentingan para kelompok kapitalisme (korporat, kartel, cukong) adalah untuk membangun perusahan-perusahan besar, jalan-jalan tol, memperpanjang izin operasi perusahan-perusahan tambang, perizinan proses penebangan hutan, dan sebagainya melalui tangan-tangan kekuasaan baik di pusat maupun daerah. Semua yang terakumulasi ini muaranya adalah kegiatan mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia dan perampasan ruang hidup masyarakat.
Comment